Sabtu, 05 November 2016

Ahok Bongkar Kaitan Jokowi dengan Pengembang Reklamasi Teluk Jakarta



Anda semua pasti sudah pernah mendengar istilah REKLAMASI disebut-sebut. Apalagi jika dihubungkan dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Berita-berita dampak buruk yang diakibatkan oleh reklamasi di tanah air, sangat banyak bisa anda dapatkan dari media massa secara online.

Kalau reklamasi di negara kita ternyata banyak “menuai badai”, mengapakah negera-negara maju lainnya banyak yang malah bergiat dalam mereklamasi wilayahnya. Apakah ada sisi positif dari reklamasi itu? Bagaimana cara mereduksi *haalah* mengurangi dampak buruk yang diakibatkannya? Dan negara mana saja yang sudah mengamalkannya.

Tulisan tentang reklamasi ini (yang mungkin akan terbagi dalam beberapa seri) akan mengulas seluk dan beluk mengenainya secara berimbang dan berusaha ilmiah tidak memihak kepentingan manapun kecuali kepentingan perut ilmu.

***

Apa Sejatinya REKLAMASI itu?

Menurut pengertiannya secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia terbitan PT. Gramedia disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan tanah (from the sea). Masih dalam kamus yang sama, arti kata reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan memperoleh tanah.

Sedangkan pengertiannya secara ilmiah dalam ranah ilmu teknik pantai, reklamasi adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau.

Apa tujuan reklamasi?

Sesuai dengan definisinya, tujuan utama reklamasi adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Kawasan baru tersebut, biasanya dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, serta objek wisata.

Dalam teori perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pemekaran kota. Reklamasi diamalkan oleh negara atau kota-kota besar yang laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat demikian pesat tetapi mengalami kendala dengan semakin menyempitnya lahan daratan (keterbatasan lahan). Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke arah daratan sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga diperlukan daratan baru. Alternatif lainnya adalah pemekaran ke arah vertikal dengan membangun gedung-gedung pencakar langit dan rumah-rumah susun.

Apakah reklamasi itu selalu identik dengan pengurugan?

Semua pekerjaan pengurugan tidak termasuk dalam kategori reklamasi, dan reklamasi tidak selalu berupa pengurugan. Lho??!

Begini, tidak semua pekerjaan pengurugan di suatu kawasan dapat disebut reklamasi. Dalam definisi di atas terdapat syarat dan ketentuan *haalah kayak iklan SIM card saja* bahwa kawasan yang diperbaiki tersebut adalah berair. Sekali lagi….., BERAIR. Jadi untuk kawasan yang tak berair, tak tepat jika dikatakan kawasan tersebut akan direklamasi. Maka untuk pekerjaan penimbunan tanah di kawasan tak berair, disebut saja dengan pekerjaan pengurugan atau penimbunan lemak tanah.

Penjelasan kedua, reklamasi tidak selalu berupa pengurugan. Prosesnya adalah pengeringan kawasan berair. Proses tersebut dapat diperoleh dengan dua cara, pertama dengan pengurugan dan kedua dengan penyedotan (pembuangan) air keluar dari kawasan tersebut. Cara pengurugan adalah cara yang paling populer dan paling mudah dilakukan, dan banyak diamalkan oleh pelaku reklamasi. Sedangkan cara penyedotan air adalah cara yang paling rumit dan memerlukan pengelolaan serta pemeliharaan (maintenance) yang teliti dan terus menerus. Contoh negara pengamal cara kedua ini adalah Belanda.

Apa keuntungan dan kerugiannya?

Cara reklamasi memberikan keuntungan dan dapat membantu negara/kota dalam rangka penyediaan lahan untuk berbagai keperluan (pemekaran kota), penataan daerah pantai, pengembangan wisata bahari, dll.

Perlu diingat bahwa bagaimanapun juga reklamasi merupakan bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap keseimbangan lingkungan alamiah yang selalu dalam keadaan seimbang dinamis. Perubahan ini akan melahirkan perubahan ekosistem seperti perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi pantai, berpotensi meningkatkan bahaya banjir, dan berpotensi gangguan lingkungan di daerah lain (seperti pengeprasan bukit atau pengeprasan pulau untuk material timbunan).

Bagaimana cara mengurangi dampak buruknya?

Untuk mereduksi dampak semacam itu, diperlukan kajian mendalam terhadap proyek reklamasi dengan melibatkan banyak pihak dan interdisiplin ilmu serta didukung dengan upaya teknologi. Kajian cermat dan komprehensif tentu bisa menghasilkan area reklamasi yang aman terhadap lingkungan di sekitarnya.

Sementara itu karena lahan reklamasi berada di daerah perairan, maka prediksi dan simulasi perubahan hidrodinamika saat pra, dalam masa pelaksanaan proyek dan pasca reklamasi serta sistem drainasenya juga harus diperhitungkan. Karena perubahan hidrodinamika dan buruknya sistem drainase ini yang biasanya berdampak negatif langsung terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.

Yang perlu dipikirkan lagi adalah sumber material urugan. Material urugan biasanya dipilih yang bergradasi baik, artinya secara teknis mampu mendukung beban bangunan di atasnya. Karena itulah, biasanya dipilih sumber material yang sesuai dan ini akan berhubungan dengan tempat galian (quarry). Sumber galian yang biasanya dipilih adalah dengan melakukan pengeprasan bukit atau pengeprasan pulau tak berpenghuni. Hal ini tentunya akan mengganggu lingkungan di sekitar quarry. Cara lain yang relatif lebih aman dapat dilakukan dengan cara mengambil material dengan melakukan pengerukan (dredging) dasar laut di tengah laut dalam. Pilihlah kawasan laut dalam yang memiliki material dasar yang memenuhi syarat gradasi dan kekuatan bahan sesuai dengan yang diperlukan oleh kawasan reklamasi.

Kalau begitu kawasan reklamasi itu mahal?

Jakarta – Presiden Joko Widodo disebut terseret dalam pusaran skandal korupsi reklamasi Teluk Jakarta. Bahkan Jokowi tak mungkin menjadi nomor orang nomor satu di negeri ini jika tidak ada peran pengembang proyek reklamasi.

“Saya pengen bilang Pak Jokowi tidak bisa jadi Presiden kalau ngandalin APBD, saya ngomong jujur kok. Jadi selama ini kalau bapak ibu lihat yang terbangun sekarang, rumah susun, jalan inpeksi, waduk semua, itu semua full pengembang, kaget gak,” ungkap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ketika menggelar rapat dengan Direksi PT Jakarta Propetindo (Jak Pro) tanggal 26 Mei 2015.

Keterangan Ahok yang dikutip dalam video yang diunggah di Youtube, Selasa (21/6) kemarin, Ahok menyebut PT Agung Poromoro sebagai pengembang yang paling kooperatif dalam membantu Pemprov DKI. Perusahaan pengembang ini juga disebut berperan dalam proyek infrastuktur di era Jokowi saat menjadi gubernur DKI. “Ini Waduk Pluit bukan Jak Pro keluar duit lho. Ini Podomoro semua,” kata Ahok.

Seperti diketahui KPK menangkap Direktur Utama PT Agung Podomoro Land Tbk Ariestman Widjaja saat memberikan suap kepada anggota DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi dari Fraksi Partai Gerindra.

Belakangan diketahui proyek reklamasi dengan nilai investasi Rp500 triliun ini cacat hukum. Izin yang diterbitkan oleh Ahok untuk reklamasi digugat oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Hasilnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta membatalkan izin reklamasi pulau G yang diterbitkan untuk PT Muara Wisesa Samudra anak usaha PT Agung Podomoro.

Selain itu terungkap pula Podomoro sudah mengucurkan kewajiban kompensasi tambahan untuk proyek ini yang diakui oleh Ahok baru sebesar Rp200 miliar. Pengakuan ini dikatakan Ahok setelah KPK mendalami korupsi proyek reklamasi.

Tidak ada komentar:
Write komentar

Games

Hosting Unlimited Indonesia